Fatum Brutum Amor Fati: Sebuah Refleksi Untuk Memaknai Hidup ala Friedrich Nietzsche
Fatum
Brutum Amor Fati: Sebuah Refleksi Untuk Memaknai Hidup ala Friedrich Nietzsche
“Mencintai
takdir seburuk apapun takdir itu” itulah pesan yang tersampaikan dari
tulisan-tulisan yang diwariskan oleh Friedrich Nietzsche. Pria yang lahir di
Saxony, Persia pada 15 Oktober 1844 adalah tokoh pertama dari eksistensialisme
modern yang ateistis.
Orang yang juga
dikenal sebagai “Sang Pembunuh Tuhan” ini menulis bebarapa teks kritis pada agama,
moralitas, budaya kontemporer, filsafat dan ilmu pengetahuan, menampilkan
kesukaan untuk metafora ironi dan pepatah.
Filsafat Nietzsche adalah filsafat
bagaimana cara memandang kebenaran atau lebih dikenal dengan istilah filsafat
perspektivisme. Dan dari sanalah
pesan tentang “mencintai hidup sepenuhnya”atau yang dikenal sebagai Amor Fati
tersampaikan.
Amor Fati secara harafiah dapat diartikan sebagai “Cinta Terhadap
Takdir”. Cinta adalah sebuah emosi dari
kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi sedangkan takdir dalam bahasa
arab “Qodar” adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi karena pilihan
makhluk itu sendiri.
Bukankah setiap
langkah manusia tidak akan bisa lepas dari realita yang ada, bahwa kebenaran
adalah hal mutlak yang tidak bisa dihindari meskipun kebenaran itu sakit dan tidak
sesui apa yang dikehendaki. Konsep Nietzsche tentang kebenaran inilah yang akan
kita coba pahami.
Konsep kebenaran bagi
Nietzsche adalah “Kehendak Untuk Berkuasa”. Kehendak untuk berkuasa bukanlah
sebuah prinsip metafisis seperti arkhe
dalam pemikiran filsuf Yunani, atau seperti pikiran cogito pada Descrates, juga bukan Roh absolut dari filsafat Hegel.
Melainkan sebagai suatu kekuatan untuk memerintah dari sendiri tanpa berpikir
tentang pasivitas diri sendiri.
Karena konsep ini
Nietzsche dikategorikan sebagai seorang pemikir yang naturalistic, dimana
Zietzsche melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya
(natural insticts) yang mirip dengan hewan atau makhluk hidup lainnya. Melalui
pemikiran yang radikal Nietzsche melihat kehendak untuk berkuasa ini sebagai
klaim kekuasaan manusia yang paling tiranik dan tidak dapat dihancurkan.
Namun demikian, walaupun
sebagai manusia yang merdeka baik secara pikiran maupun perbuatan, terkadang manusia
tidak bisa terlepas dari rutinitas yang
monoton. Setiap hari tanpa sadar manusia kini terjebak dalam siklus aktivitas
yang tiada hentinya. Bagaimana bumi berputar pada porosnya tiada henti,
begitulah kira-kira manusia berputar pada kegiatannya sehari-hari.
Katakanlah, baik dia seorang
karyawan, buruh pabrik, pengusaha, pejabat negara, dan profesi lainnya. layaknya
sebuah lakon dalam bahasa jawa, setiap orang sibuk memainkan peran yang sama yang
di pertontonkan didepan orang lain. Sayangnya peran itu sangat absurd, dan
membosankan untuk ditonton setiap hari. Dan jika lakon itu terus berlanjut tiada
hentinya, apakah makna yang akan diingat dari setiap individu semasa hidupnya
didunia ini?
Kegiatan monoton
diatas adalah Absurdisme yang secara tidak sadar dilakukan oleh manusia, dan
Friedrich Nietzsche melalui melalui konsep pemikiran Amor Fati nya meberi jalan
keluar dari absurdnya hidup manusia. Agar hidup lebih bermakna dan cintai
takdir mu bukan pasrah.
Nietzsche pernah
menulis “Kita mencintai hidup, bukan karena kita terbiasa hidup, tapi karena kita
terbiasa mencintai”.
Dan untuk merubah
hidup yang telah terlanjur masuk dalam siklus hidup yang monoton Nietzsche menulis
dalam bukunya yang berjudul Also sprach
Zarathustra “Engkau harus membakar diri dalam apimu sendiri; bagaimana
mungkin engkau bisa menjadi baru juka engkau tidak menjadi abu terlebih dahulu”
Yang jelas bahwa
tidak ada penyesalan akan hidup, jadilah manusia baru dan kembali menjadi
manusia yang Mencintai Takdir Sepenuhnya.
(Oleh
Henri Silalahi adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Borobudur dan Kader
PMKRI Cabang Jakarta Timur)
Komentar
Posting Komentar